Tentang Hujan di Penghujung Desember
Cerpen Yuli Coule’ Nayla msih terlelap dalam hangatnya selimut di pagi itu, ketika kakaknya, Rindy akan berangkat ke kantor. Sebelum be...
https://www.rumahliterasi.org/2018/05/tentang-hujan-di-penghujung-desember.html
Cerpen Yuli Coule’
Nayla msih terlelap dalam hangatnya selimut di pagi itu, ketika kakaknya, Rindy akan berangkat ke kantor. Sebelum berangkat seperti biasa Rindy meninggalkan secarik kertas di meja kecil di samping tempat tidur Nayla. Sesekali ia pandang lekat wajah adik satu-satunya, dikecup keningnya sambil berkata.
“Sayang, kakak berangkat ya” seraya diusapnya rambut setengah keriting Nayla.
Nayla adalah satu-sautnya alasan hidup Rindy. Sejak kejadian longsor beberapa tahun lalu mereka hanya tinggal berdua, ortang tua dan keluarga yang lain menjadi korban longsor. Mengenang kejadian itu membuat dada dan nafas Rindy terasa sesak. Matanya nampak berkaca-kaca, dengan langkah sedikit berat ia melangkah menuju tempat kerjanya. Nayla adalah anak manis, penurut, dan mandiri, saat ini ia duduk di bangku SMP, kelas tiga. Di sekolahnya ia dikenal anak pandai, ceria, dan disukai banyak guru dan temannya. Tapi beberapa hari ini ada perubahan dalam diri Nayla, tak ada satu pun yang tahu tentang penyebab perubahan itu, Nayla menjadi anak yang pemurung, pendiam, tertutup, dan sering sekali merasa seperti orang ketakutan.
Sore itu hujan begitu deras disertai angin kencang. Pohon kelapa nampak berayun-ayun karena angin yang begitu kencang. Nayla segera berlari ke kamar, menutup jendela rapat-rapat, horden, dan menyetel musik sekeras mungking hingga tak terdengar riak hujan.
“Nayla?kamu kenapa sayang? Kakak boleh masuk ya? Rindy mengetuk pintu Nayla
“Nayla pengen sendiri kak”
Rindy benar-benar bingung dengan perubahan yang terjadi dalam diri Nayla, entah pada siapa ia harus berbagi. Hujan mulai reda, rintik terdengar mulai samar di atas genteng. Kembali Rindy mencoba masuk ke kamar Nayla, pintunya terlihat setengah terbuka. Di lihatnya Nayla dari pintu, Nayla terdengar seperti mengisak di balik selimutnya.
“Sayang, Nayla kenapa?” Tanya Rindy semakin tidak mengerti dengan keadaan Nayla.
“Nay benci hujan?” ucap Nayla sembari memeluk Rindy
“ Sayang, hujan tidak salah. Bukan hujan yang merenggut orang tua kita. Semua berjalan atas kehendakNya, ingat tidak? Pelangi yang kita lihat diua hari yang lalu, pelangi hadir setelah hujan.” Rindy berusaha menenangkan Nayla sembari mengelus rambutnya.
“Bukan, bukan tentang longsor itu, bukan”
“Lantas kenapa?” Rindy semakin tak mengerti
Nayla hanya menggeleng saja, tak mau bicara.
Rindy keluar kamar Nayla dengan rasa yang semakin tak karuan. Sejuta pertanyaan dan semuanya berkecamuk. Dia benar-benar bingung, karena pada saat kejadian longsor Nayla masih bisa menerima, walau sedih tapi dia tegar. Dari raut wajah Nayla tadi ia tak ingin lebih banyak bicara, Rindy merasakan begitu dalam sakit yang Nayla rasakan.
“Nay, sini dech” teriak Rindy dari teras rumah
Nay pun segera berlari menuju suara Rindy
“Lihat, pelangi itu kembali kita nikmati setelah rinai hujan bukan? Indah ada banyak warna di sana, melengkung, menghias cakkrawala senja ini” Tunjuk Rindy
Nay tak sedikitpun merespon apa yang dikatakan Rindy, sebaliknya matanya kembali berkaca-kaca, ia berusaha menahannya agar tak jatuh di pipinya.
“Bukankah pelangi yang selalu kita tunggu ketika sehabis hujan? “ Tanya Rindy
“Aku benci hujan, aku tak pernah inginkan hujan kak!” Nayla kembali berlari menuju kamarnya, kali ini malah ia mengunci rapat pintu kamarnya.
Rindy semakin tak mengerti dengan Nayla. Ia hanya terpaku di ruang tamu. Pikiran dan matanya menerawang jauh sekali, jauh hingga semua berkecamuk dalam kepalanya, memenuhi rongga parunya hingga terasa sesak .
******
Rasa bersalah sekaligus rasa penasaran dalam hati Rindy semakin besar saja pada Nayla. Apakah karena dia selalu meninggalkan Nayla sendiri hingga ingatannya kembali pada bencana itu? Tapi nay bilang bukan karena longsor itu. Rindy kembali mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi lewat teman-teman Nay, guru BK pun ia datangi untuk sekadar bertanya tentang perkembangan adiknya. Sudah lima hari Nayla tidak masuk sekolah, ia lebih memilih untuk tinggal di rumah menyendiri dan lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar dengan sebuah buku diary berwarna pink.
“Nay” Rindy berusaha membuka obrolan di ruang tamu
Nay hanya menatap Rindy pertanda dia tak ingin bicara.
“Ingat tidak kapan terakhir kita main hujan, saat itu di desa kita masih banyak anak yang senang bermain air hujan, ada juga yang naik kedebong pisang”
Nay kembali hanya mengangguk
“Nay ingin main hujan lagi?”
Nay menggeleng, ia berusaha beranjak tapi segera terhenti langkahnya ketika Rindy menahan dengan memegang tangan Nayla.
“Duduklah, kakak hanya kangen dengan masa itu nay, kakak hanya ingin sedikit melepas rasa ini. Maafkan kakak ya, sering tinggalkan Nayla sendiri, tapi kakak harus lakukan ini demi kita”
“Kakak tidak salah, Nay tidak pernah salahkan kakak, Nay sayang kakak” Nay kembali berkaca-kaca
“Sayang kita hanya berdua, ceritalah apapun pada kakak. Berbagilah dengan kakak. Nayla kenapa?” Tanya Rindy sembari menatap wajah sayu Nayla.
Kembali Nay hanya menggeleng dan melangkah menuju kamarnya.
Malam itu kembali hujan deras menyapa. Hanya gemuruh angin yang sesekali membuat semua bergoyang dan semakin membuat malam begitu dingin. Semakin membuat Rindy merasa amat sangat gundah. Sementara, seperti biasa ketika hujan datang Nayla menutup rapat semua pintu, jendela, horden. Ia tak membiarkan riak hujan terlihat dan terdengar, ia menghidupkan musik sekaras mungkin.
Entah apa yang harus dilakukan oleh Rindy, ia semakin takut saja mendengar musik yang begitu keras di kamar Nayla, Hujan pun semakin deras malam itu.
“Nay, bukalah pintunya sayang” ketuk Rindy semakin keras di pintu kamar Nayla
“Nay katanya sayang kakak, ayolah buka ya, berbagilah bersama kakak”
“Nay baik-baik saja kak, masuklah bila hujan reda, aku benci hujan, benciiiiiiii” Nayla berteriak
Kembali Rindy pun menuruti permintaan Nayla. Dia hanya menyandarkan diri di punggung sofa di ruang tamu. Ingatannya kembali menerawang pada masa keuarga kecilnya masih lengkap, masih ada ayah dan ibu.
‘Andai longsor itu tak pernah ada, pasti ayah ibu masih di sini bersama kami, dan Nayla tak akan pernah begini,’ ucap Rindy dalam hati lirih sambil menarik nafas dalam-dalam.
Jam dinding berdetak begitu lamban, hujan di luar sedikit reda tapi rintik masih terdengar samar di keheningan malam. Rindy pun kembali berusaha masuk kamar Nayla, karena musiknya terdengar mulai lirih. Ia masuk pelan sekali, ia tak ingin langkah kakinya sampai membangunkan adik manisnya. Lagu Mariah carey terdengar jelas meski tak terlalu keras volumenya. Ia selimuti adiknya sambil ia pandangi wajah Nayla.
Nampak matanya sembab, terlihat jelas Nayla habis menangis, ia seka sisa air mata Nayla dengan lembut. Nayla menedekap sebuah buku berukuran mungil berwarna merah muda. Dengan hati-hati Rindy mengambil buku harian itu dalam dekapan Nayla. Kemudian ia berjalan ke luar kamar Nayla setengah menjinjit, ia tak ingin Nayla terbangun dengan langkah kakinya. Rindy menuju ruang tamu dengan membawa buku harian Nayla. Sebenarnya ia tak ingin membaca buku harian itu tanpa ijin Nayla, tapi ia bener penasatran dengan perubahan Nayla. Mungkin dalam buku ini ia akan menemukan jawaban. Dia buka pelan-pelan, satu persatu, halaman demi halaman buku harian Nayla hingga sampai pada tulisan besar “tentang hujan”
“ Aku tidak takut atau fobia hujan, aku suka hujan, aku senang hujan, tapi itu dulu. Sekarang aku benci hujan. Sore itu kau dan aku kehujanan saat kita pulang dari toko buku, kita sempat berteduh di sebuah pondok kecil., kau bercerita tentang hujan dan pelangi, kau bilang pelngi akan muncul setelah hujan, kita akan menunggunya. Kau terus saja bercerita hingga membuatku tak lagi merasakan dinginnya hujan, dan suara hujan pun tak lagi ku dengar. Dan ketika ku tersadar kau terus saja mendekapku dan berkata “jangan takut” pelangi akan datang” aku benci hujan sore itu, aku sangat benci, kau sudah melakukannya. Aku tak berdaya, hanya mengikuti maumu. Kau berbohong padaku, setelah hujan sore itu pelangi tak pernah muncul, bahkan menghilang dari hidupku, karena kau telah merampas pelangi itu. Setelah sore itu tak lagi ku lihat pelangi, dan kau pun menghilang dalam derasnya hujan. bayang mu pun raib bersama pelangiku sore itu. Aku tak lagi bisa bercerita tentang indahnya pelangi, aku tak lagi bisa menatap dunia. Kakak maafkan Nayla, Nay tak ingin menambah beban kakak. Jangan Tanya apapun tentang hujan pada Nay besok, lusa dan seterusnya. Nay janji mulai besok Nay akan kembali untukmu.”
Dada Rindy begitu sesak, air mata tak bisa dia hentikan tuk banjiri pipinya, desiran darah terasa terhenti, tubuhnya lunglai tak berdaya. Apa yang sebenarnya terjadi pada Nayla, sore itu? Rindy kembali membuka pintu kamar Nayla pelan, ia kembalikan lagi buku harian dalam dekapan Nay seperti awal tadi. Ia padang wajah Nayla, kali ini ia tak kuasa memandang wajah adiknya berlama-lama. Ia segera berlari menuju kamarnya, ia tumpahkan semua yang ia tahan sejak tadi. Bagaimana ia bisa kembalikan pelangi untuk Nayla?
Terkumpula dalam buku: *Antologi Garuda Terbang Membelah Angkasa*
Pilihan
“Sayang, kakak berangkat ya” seraya diusapnya rambut setengah keriting Nayla.
Nayla adalah satu-sautnya alasan hidup Rindy. Sejak kejadian longsor beberapa tahun lalu mereka hanya tinggal berdua, ortang tua dan keluarga yang lain menjadi korban longsor. Mengenang kejadian itu membuat dada dan nafas Rindy terasa sesak. Matanya nampak berkaca-kaca, dengan langkah sedikit berat ia melangkah menuju tempat kerjanya. Nayla adalah anak manis, penurut, dan mandiri, saat ini ia duduk di bangku SMP, kelas tiga. Di sekolahnya ia dikenal anak pandai, ceria, dan disukai banyak guru dan temannya. Tapi beberapa hari ini ada perubahan dalam diri Nayla, tak ada satu pun yang tahu tentang penyebab perubahan itu, Nayla menjadi anak yang pemurung, pendiam, tertutup, dan sering sekali merasa seperti orang ketakutan.
Sore itu hujan begitu deras disertai angin kencang. Pohon kelapa nampak berayun-ayun karena angin yang begitu kencang. Nayla segera berlari ke kamar, menutup jendela rapat-rapat, horden, dan menyetel musik sekeras mungking hingga tak terdengar riak hujan.
“Nayla?kamu kenapa sayang? Kakak boleh masuk ya? Rindy mengetuk pintu Nayla
“Nayla pengen sendiri kak”
Rindy benar-benar bingung dengan perubahan yang terjadi dalam diri Nayla, entah pada siapa ia harus berbagi. Hujan mulai reda, rintik terdengar mulai samar di atas genteng. Kembali Rindy mencoba masuk ke kamar Nayla, pintunya terlihat setengah terbuka. Di lihatnya Nayla dari pintu, Nayla terdengar seperti mengisak di balik selimutnya.
“Sayang, Nayla kenapa?” Tanya Rindy semakin tidak mengerti dengan keadaan Nayla.
“Nay benci hujan?” ucap Nayla sembari memeluk Rindy
“ Sayang, hujan tidak salah. Bukan hujan yang merenggut orang tua kita. Semua berjalan atas kehendakNya, ingat tidak? Pelangi yang kita lihat diua hari yang lalu, pelangi hadir setelah hujan.” Rindy berusaha menenangkan Nayla sembari mengelus rambutnya.
“Bukan, bukan tentang longsor itu, bukan”
“Lantas kenapa?” Rindy semakin tak mengerti
Nayla hanya menggeleng saja, tak mau bicara.
Rindy keluar kamar Nayla dengan rasa yang semakin tak karuan. Sejuta pertanyaan dan semuanya berkecamuk. Dia benar-benar bingung, karena pada saat kejadian longsor Nayla masih bisa menerima, walau sedih tapi dia tegar. Dari raut wajah Nayla tadi ia tak ingin lebih banyak bicara, Rindy merasakan begitu dalam sakit yang Nayla rasakan.
“Nay, sini dech” teriak Rindy dari teras rumah
Nay pun segera berlari menuju suara Rindy
“Lihat, pelangi itu kembali kita nikmati setelah rinai hujan bukan? Indah ada banyak warna di sana, melengkung, menghias cakkrawala senja ini” Tunjuk Rindy
Nay tak sedikitpun merespon apa yang dikatakan Rindy, sebaliknya matanya kembali berkaca-kaca, ia berusaha menahannya agar tak jatuh di pipinya.
“Bukankah pelangi yang selalu kita tunggu ketika sehabis hujan? “ Tanya Rindy
“Aku benci hujan, aku tak pernah inginkan hujan kak!” Nayla kembali berlari menuju kamarnya, kali ini malah ia mengunci rapat pintu kamarnya.
Rindy semakin tak mengerti dengan Nayla. Ia hanya terpaku di ruang tamu. Pikiran dan matanya menerawang jauh sekali, jauh hingga semua berkecamuk dalam kepalanya, memenuhi rongga parunya hingga terasa sesak .
******
Rasa bersalah sekaligus rasa penasaran dalam hati Rindy semakin besar saja pada Nayla. Apakah karena dia selalu meninggalkan Nayla sendiri hingga ingatannya kembali pada bencana itu? Tapi nay bilang bukan karena longsor itu. Rindy kembali mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi lewat teman-teman Nay, guru BK pun ia datangi untuk sekadar bertanya tentang perkembangan adiknya. Sudah lima hari Nayla tidak masuk sekolah, ia lebih memilih untuk tinggal di rumah menyendiri dan lebih banyak menghabiskan waktunya di kamar dengan sebuah buku diary berwarna pink.
“Nay” Rindy berusaha membuka obrolan di ruang tamu
Nay hanya menatap Rindy pertanda dia tak ingin bicara.
“Ingat tidak kapan terakhir kita main hujan, saat itu di desa kita masih banyak anak yang senang bermain air hujan, ada juga yang naik kedebong pisang”
Nay kembali hanya mengangguk
“Nay ingin main hujan lagi?”
Nay menggeleng, ia berusaha beranjak tapi segera terhenti langkahnya ketika Rindy menahan dengan memegang tangan Nayla.
“Duduklah, kakak hanya kangen dengan masa itu nay, kakak hanya ingin sedikit melepas rasa ini. Maafkan kakak ya, sering tinggalkan Nayla sendiri, tapi kakak harus lakukan ini demi kita”
“Kakak tidak salah, Nay tidak pernah salahkan kakak, Nay sayang kakak” Nay kembali berkaca-kaca
“Sayang kita hanya berdua, ceritalah apapun pada kakak. Berbagilah dengan kakak. Nayla kenapa?” Tanya Rindy sembari menatap wajah sayu Nayla.
Kembali Nay hanya menggeleng dan melangkah menuju kamarnya.
Malam itu kembali hujan deras menyapa. Hanya gemuruh angin yang sesekali membuat semua bergoyang dan semakin membuat malam begitu dingin. Semakin membuat Rindy merasa amat sangat gundah. Sementara, seperti biasa ketika hujan datang Nayla menutup rapat semua pintu, jendela, horden. Ia tak membiarkan riak hujan terlihat dan terdengar, ia menghidupkan musik sekaras mungkin.
Entah apa yang harus dilakukan oleh Rindy, ia semakin takut saja mendengar musik yang begitu keras di kamar Nayla, Hujan pun semakin deras malam itu.
“Nay, bukalah pintunya sayang” ketuk Rindy semakin keras di pintu kamar Nayla
“Nay katanya sayang kakak, ayolah buka ya, berbagilah bersama kakak”
“Nay baik-baik saja kak, masuklah bila hujan reda, aku benci hujan, benciiiiiiii” Nayla berteriak
Kembali Rindy pun menuruti permintaan Nayla. Dia hanya menyandarkan diri di punggung sofa di ruang tamu. Ingatannya kembali menerawang pada masa keuarga kecilnya masih lengkap, masih ada ayah dan ibu.
‘Andai longsor itu tak pernah ada, pasti ayah ibu masih di sini bersama kami, dan Nayla tak akan pernah begini,’ ucap Rindy dalam hati lirih sambil menarik nafas dalam-dalam.
Jam dinding berdetak begitu lamban, hujan di luar sedikit reda tapi rintik masih terdengar samar di keheningan malam. Rindy pun kembali berusaha masuk kamar Nayla, karena musiknya terdengar mulai lirih. Ia masuk pelan sekali, ia tak ingin langkah kakinya sampai membangunkan adik manisnya. Lagu Mariah carey terdengar jelas meski tak terlalu keras volumenya. Ia selimuti adiknya sambil ia pandangi wajah Nayla.
Nampak matanya sembab, terlihat jelas Nayla habis menangis, ia seka sisa air mata Nayla dengan lembut. Nayla menedekap sebuah buku berukuran mungil berwarna merah muda. Dengan hati-hati Rindy mengambil buku harian itu dalam dekapan Nayla. Kemudian ia berjalan ke luar kamar Nayla setengah menjinjit, ia tak ingin Nayla terbangun dengan langkah kakinya. Rindy menuju ruang tamu dengan membawa buku harian Nayla. Sebenarnya ia tak ingin membaca buku harian itu tanpa ijin Nayla, tapi ia bener penasatran dengan perubahan Nayla. Mungkin dalam buku ini ia akan menemukan jawaban. Dia buka pelan-pelan, satu persatu, halaman demi halaman buku harian Nayla hingga sampai pada tulisan besar “tentang hujan”
“ Aku tidak takut atau fobia hujan, aku suka hujan, aku senang hujan, tapi itu dulu. Sekarang aku benci hujan. Sore itu kau dan aku kehujanan saat kita pulang dari toko buku, kita sempat berteduh di sebuah pondok kecil., kau bercerita tentang hujan dan pelangi, kau bilang pelngi akan muncul setelah hujan, kita akan menunggunya. Kau terus saja bercerita hingga membuatku tak lagi merasakan dinginnya hujan, dan suara hujan pun tak lagi ku dengar. Dan ketika ku tersadar kau terus saja mendekapku dan berkata “jangan takut” pelangi akan datang” aku benci hujan sore itu, aku sangat benci, kau sudah melakukannya. Aku tak berdaya, hanya mengikuti maumu. Kau berbohong padaku, setelah hujan sore itu pelangi tak pernah muncul, bahkan menghilang dari hidupku, karena kau telah merampas pelangi itu. Setelah sore itu tak lagi ku lihat pelangi, dan kau pun menghilang dalam derasnya hujan. bayang mu pun raib bersama pelangiku sore itu. Aku tak lagi bisa bercerita tentang indahnya pelangi, aku tak lagi bisa menatap dunia. Kakak maafkan Nayla, Nay tak ingin menambah beban kakak. Jangan Tanya apapun tentang hujan pada Nay besok, lusa dan seterusnya. Nay janji mulai besok Nay akan kembali untukmu.”
Dada Rindy begitu sesak, air mata tak bisa dia hentikan tuk banjiri pipinya, desiran darah terasa terhenti, tubuhnya lunglai tak berdaya. Apa yang sebenarnya terjadi pada Nayla, sore itu? Rindy kembali membuka pintu kamar Nayla pelan, ia kembalikan lagi buku harian dalam dekapan Nay seperti awal tadi. Ia padang wajah Nayla, kali ini ia tak kuasa memandang wajah adiknya berlama-lama. Ia segera berlari menuju kamarnya, ia tumpahkan semua yang ia tahan sejak tadi. Bagaimana ia bisa kembalikan pelangi untuk Nayla?
Terkumpula dalam buku: *Antologi Garuda Terbang Membelah Angkasa*