Sajak-sajak Daviatul Umam
Musim Tanam sepasang sapi betina begitu tabah cut dipecut menenggala ladang impian berjalan meniti gemeretak waktu yang tiap pija...
https://www.rumahliterasi.org/2018/04/sajak-sajak-daviatul-umam.html
Musim Tanam
sepasang sapi betina begitu tabah
cut dipecut menenggala ladang impian
berjalan meniti gemeretak waktu
yang tiap pijaknya membekas di benak kami
bekas juang untuk kami haturkan
kepada cicit dan cicit nanti
agar tetap mengalir kesejukan air mata tani
kami tanam benih-benih harapan
antara tanah yang tunduk lemas
jua tikaman surya nan amat ganas
kelak semoga tumbuh utuh sebagai keberkatan
menepis bengis
menolak congkak
dan hama-hama lain
yang dapat mengikis kehijauan batin
ada kalanya kami istirah
kopi diseruput
rokok disulut
serupa hujan membangkitkan gelora pohonan
tulang kami merah menyala seperti semula
usai dipadamkan rinai keringat
angin berduyun membasuh letih
sesegar beburung di pagi embun
berdiri lagi kami menantang perih
melawannya dengan raut santun
Sumenep 2016
Bapak Kembali Melaut
usai berpuas-puas laut
memeram semerbak karangnya
sampailah kini aroma itu ke lambung kampung
kembalilah bapak membantai ombak
malam-malam semakin suam
pelita doa menyala biru dari sajadah ibu
angin menjilat-jilat
ikan-ikan merapat
sembuhkan alat-alat dapur yang sekarat
seranum langit sore
bapak pulang menggenggam senyum cumi
hiasan cantik di jaring teri
memasaknya ibu bagi gundah lidah
dengan sumringah nasi jagung
kuah hitamnya mencecap sedap rongga basmalah
yakinlah
bukanlah laut selama ini tidak acuh
akan kerontang dada nelayan
hanya barangkali menguji kesetiaan sampan
atas kecemburuannya terhadap perantau
pencampak penghasilan asal
sebagaimana cita ladang petani jual
pelayaran pun ditakwil hidup yang lebih selundup
ke perut petaka
perahu-perahu menggerutu
turut tenggelam ke lubang saku
disihir jadi bertumpuk-tumpuk toko jelita
berdesakan di jakarta
Sumenep 2017
Dalam Dekapan Masjid Jamik Sumenep
azan magrib dilambungkan
pemukim pun musafir melepas noda-noda
memasang seberkas cahaya
sampai lambai ikamah menariknya simpuh
suara keagungan menetes-netes
melubangi sebongkah hati nan angkuh
salam kanan salam kiri
ritual penyembahan diakhiri
tasbih tahmid takbir berdeburan dalam badan
menghantam karang-karang keegoisan
liar bola mata berputar-putar
lelampu besar serupa serumpun mawar
teduh memancar menyiram pilar-pilar islam
sepasang mimbar alangkah gagah berseri
di antaranya lafadz Allah dan Muhammad
mengukir hening dinding nurani
subhanaka
subhanaka!
masjid yang kini melompati dua abad
warna budayanya tetap khidmat terawat
kuning bening hijau tua
setia menjaga kesahajaan jendela
pikat jiwa tanpa mahabah kaca
sebatang keris karisma warisan siapa entah
semadi di atas luar mihrab
moyang dan tuhan tampak begitu akrab
doa-doa mengukus
menembus tujuh langit kudus
tubuh-tubuh menanggalkan sejuk pelukmu
berharap aku lebih kerap bertamu
Sumenep 2017
Karapan Kambing
udara sore menarikku
mengunjungi gelanggang masa lalu
masa di mana mata masih samar-samar
menyapa kerumunan
kiri-kanan laki-perempuan
berbaris tebal di tepian
tancap perhatian akan kambing-kambing
yang lucu berpacu
di garis start
bimbang dan keyakinan siap diluncurkan
hitung mundur
sampai gertakan melepas aksi
cooolll!!!
larilah masing jagoan
saling kejar titik angan
diikuti gerincing kaleles serta sorak api
juga sambar cemeti
udara sore berhasil menghibur
sekaligus mengajariku
perihal sulut tawa yang kadang berdenyar
di atas lara
saat terlontar riuh kemenangan
di atas kesah yang kalah
bahkan tak peduli
ada luka-ngilu pada kuasa sendiri
Sumenep 2018
Jagung Bakar
angin tak berdaya di dekat mulut tenggarang
yang rongganya beringas oleh getaran bara
jagung-jagung dicempung ke sana
seolah-olah kami saksikan pendosa diterjunkan
ke ceruk neraka
dientaslah kemudian
ketika buah kesetiaan tersebut setengah gosong
di antara barisan bijinya yang rapat
melempar harum ketenteraman yang kuat
betapa kami serakah menyantapnya
tak kalah serakah dengan mulut api melalap seonggok kayu
tak kalah ganas dengan kerkah waktu atas urat kami
saat menanam bebiji itu beberapa bulan lalu
sungguh
momentum sederhana ini tak dapat ditukar suara dari jauh
menyeru kepuasan diri melalui keterasingan diri
yang belum pasti seperhatian sapaan asap
di ruang beratap sawang ini
Sumenep 2018
xxxxxxx
Daviatul Umam, lahir di Sumenep, 18 September 1996. Alumni Pondok Pesantren Annuqayah daerah Lubangsa ini merupakan mantan Ketua Umum Sanggar Andalas, serta bekas aktivis CTL-Pamor, Teater Nanggala, Sanggar Listrik, Dapur Arisan Sastra (DARSA), Komunitas Pojok Sastra (KPS) dan Lesehan Sastra Annuqayah (LSA). Sebagian karyanya berupa puisi dan cerpen dipublikasikan di sejumlah media cetak dan online. Termaktub pula dalam beberapa buku antologi bersama: Puisi Menolak Korupsi 3 (2014), Lumbung Puisi Sastrawan Indonesia IV (2016), Negeri Awan (2017), Lebih Baik Putih Tulang dari pada Putih Mata (2017), Lubang Kata (2017), Menderas sampai Siak (2017), Tentang Masjid (2017), Sajak-sajak tentang Pindul (2017), Mengunyah Geram (2017), Pesan Damai Aisyah, Maria, Zi Xing (2018). Dinobatkan sebagai juara 1 Lomba Cipta Puisi Spontan Tingkat Umum Se-Kabupaten Sumenep (PP. Agung Damar, Pragaan 2013), juara 1 Lomba Menulis Puisi Antar Pondok Pesantren Se-Jawa Timur (PP. Sidogiri, Pasuruan 2013), juara 3 Lomba Cipta Puisi Kategori Umum (Festival Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta 2016), 10 Besar Terbaik Sayembara Cipta Puisi Nasional (Sigi Media, Bandung 2016), Pilihan Utama Poetry Prairie Literature Journal (Edisi 6, 2017) dan 15 Puisi Favorit Lomba Menulis Puisi Untuk Indonesia (DPP Partai Demokrat, Kepulauan Riau 2017). Berdomisili di Poteran Talango Sumenep, Madura.
Pilihan