Imajinasi Seorang Presiden
Oleh S. Herianto “Sudah waktunya kita mengubah fokus perhatian bangsa!” “Maaf, Pak Presiden?” kepala tentara terperangah. “Begi...
https://www.rumahliterasi.org/2018/04/imajinasi-seorang-presiden.html
Oleh S. Herianto
“Sudah waktunya kita mengubah fokus perhatian bangsa!”
“Maaf, Pak Presiden?” kepala tentara terperangah.
“Begini, selama ini, sejak kita merdeka, tak satu pun
masalah bangsa ini yang bisa diurai. Hingga saat ini kusut carut-marut. Mulai
dari kalangan kementerian dan stafnya, direktorat dan stafnya,
pemerintah-pemerintah daerah rata-rata hanya menggerogoti negara. Kasus korupsi
di mana-mana. Dari level teratas hingga terbawah. Pendidikan sebagai ujung
tombak peradaban bangsa tak kunjung menemukan formula. Semua dirancang untuk
kepentingan kantong-kantong pribadi. Semua arahnya cenderung kapitalis dan
liberal. Semua didasari atas kepentingan bisnis. Apa tidak sebaiknya mengubah
suasana?”
“Iya, Bapak Presiden. Kira-kira apa rencana Bapak Presiden?”
Sang Presiden memanggil menteri mendekat.
“Duduk sini, lebih dekat!”
“Baik Bapak Presiden.”
“Bagaimana seandainya kita ubah fokus persoalan negara ini?”
“Bagaimana Bapak Presiden?”
“Bagaimana kalau kita rencanakan menjajah negara-negara
tetangga?”
“Bapak…?”
“Begini, selama ini kita kan sering jadi korban sebagai
obyek yang dijajah. Sesekali tak mengapa kan kalau kita juga menjajah negara
lain?”
“Maaf, Bapak Presiden. Ini hal yang sangat sensitif!”
“Iya, saya tahu. Tapi, benar kan selama ini kita tak pernah
menjajah? Kalau dijajah sering!”
“Memang demikian Bapak Presiden! Tapi, gagasan ini tidak
populer dan harganya sangat mahal.”
“Begini saja. Anggap ini cuma berandai-andai. Seandainya
kita atas nama bangsa kita ini merencakan menyerang negara lain apa yang perlu
kamu siapkan, Jenderal?”
“Maaf, Bapak Presiden. Saya tidak berani!”
“Berandai-andai saja tidak berani?”
“Maaf Bapak Presiden, saya…,”
“Bagaimana kamu bisa jadi jenderal dengan sikap tidak patuh
seperi ini? Bahkan tak berani berandai-andai. Jenderal cap apa kamu ini?”
“Sekali lagi maaf, Bapak Presiden!”
“Ini perintah!!!”
“Siap!”
“Kutunggu perencanaanmu di meja 12 jam dari sekarang!
Keluar!!!”
“Siap laksanakan!”
“Dismiss!!”
Apa karena aku presiden yang bukan dari militer, seenaknya
mereka tidak mengindahkan perintahku? Benar-benar keterlaluan, gumamnya.
Negara dalam kepemimpinannya memang carut-marut dari semua lapisan.
Hutang negara sudah tak mampu dikalkulasi. Perseteruan di semua kalangan.
Korupsi merajalela tanpa satu pun mampu ditangani oleh jerat hukum. Pendidikan
tak menemukan arah. Kurikulum menjadi tujuan politik, tujuan perdagangan, dan
tujuan pengharcuran sendi-sendi berbangsa dan bernegara.
Sebenarnya bukan karena dia yang memimpin, tapi apa yang
diwariskan beberapa pemimpin bobrok sebelumnya, kekacauannya memuncak saat
kepemimpinannya. Beberapa aset penting negara terjual. Sumber-sumber mineral
masih dikangkangi negara asing. Tak bisa diusir. Andai bisa diibaratkan tatanan
negara seperti sampai busuk dari macam-macam bangkai.
Inisiatif invasi menjadi pilihan. Paling tidak mengubah
pusat perhatian bangsa dan negara. Sedikitnya bisa mengubah perpecahan bangsa
yang selama ini terus meruncing menjadi bersatu ketika kondisi negara sedang
genting. Reformasi tidak berjalan sesuai harapan. Revolusi mungkin akan memakan
banyak korban. Pilihan yang tepat hanyalah menjajah negara tetangga.
Negara sasaran paling dekat adalah Singarupa. Negara kecil
yang kaya. Aset-aset negara tersebut bisa diambil alih untuk kesejahteraan
rakyat. Begitu juga negara Jippang, negara kepulauan yang juga kaya dengan
sumber daya manusia robotik, yang tak kenal lelah. Mereka dapat diambil alih
menjadi romusha modern. Kemudian merambah ke Thai-thai, Philphil, Kor Yan,
Petnam, dan sebagainya. Pampasan perang yang lumayan untuk membuat pesta
kebangsaan. Benar-benar ide jitu.
“Ajudan!”
“Siap!”
“Panggil kepala tentara!”
“Laksanakan!:
Tidak berapa lama, kepala tentara pun menghadap.
“Sampaikan rencanamu!”
“Baik Bapak Presiden. Rencana strategis saya bagi dalam 3
jenis. Pertama, menghitung untung-rugi. Kedua, perang terbuka atau tertutup.
Ketiga, menghitung kalah dan menang.”
“Sampaikan detilnya!”
“Baik Bapak Presiden!”
Kepala tentara itu menyalakan mesin kotak kecil. Setelah
nyala dari mesin tersebut keluarlah cahaya yang cahaya tersebut akhirnya
membentuk peta rencana. Seperi hologram dalam film-film amrik. Tampak ada peta
wilayah negara dan negara-negara tetangga. Tampak pula peta pikiran perencanaan
perang.
Dengan seksama sang presiden memperhatikan baik-baik
penjelasan kepala tentara. Gemetar tangan kepala tentara tak bisa
disembunyikan. Menurutnya beban yang dititahkan kepadanya bukan hal main-main.
Bukan seperti main catur atau monopoli. Ini menyangkut kehidupan orang banyak,
menyangkut rakyat sebuah negara besar.